Selamat datang di Blog saya

Labels

Rabu, 17 Oktober 2012

kita

Ditempat ini aku duduk dan menghabiskan sebagian kebahagiaanku bersama mereka, mereka yang tampak seperti setoles permen aneka rasa dengan ciri khasnya masing-masing. Mereka yang duduk sila dengan menggenggam erat buku fisika yang ditutup rapat lalu membuka suara dengan topik berbeda.


“Kira-kira nanti kita jadi apa ya?”. Tanya Meida yang seketika membuyarkan suasana. “Kalo gue ya maunya nanti kerja dipertambangan, kan keren tuh atau kuliah ngambil jurusan teknik sipil”. Jawab Dina dengan mata berbinar, “eh eh, tunggu deh. Kalo gue maunya kita tuh nanti gak ngomongin ‘lu kerja dimana?’, tapi gue pengen kalo nanti kita nanya nya ‘lu di negara mana’, kan keren tuh”. Usul Zahla dengan nada semangat, sementara kami semua yang berada disana mengamini ucapannya dengan raut gembira. Seketika Shelin datang dan berdiri dihadapan kami sembari melipat tangannya didada selaras dengan sikapnya yang ‘no profile’ dan membuka suara “kalo gue yang penting cepet lulus deh, bosen sekolah mulu. Remedial lah, laporan praktikum, persentasi, heuh bisa mati gue”. Dengan lebih semarak kami membenarkan pernyataan Shelin sembari menimpuknya dengan lipatan kertas kecil.
Lima waktu berlalu tanpa menyisihkan sedikitpun ilmu, kami yang hendak belajar hanya terpukau dengan candaan konyol yang setidaknya dapat merenggangkan lekuk otak kami yang hampir beku dengan beribu istilah aneh ditambah dengan campuran rumus-rumus yang akan mengantarkan kami pada kata “remedial”. Tak lama kemudian bel pun berdering mempersembahkan lagu-lagu semangat yang menandakan telah berakhirnya beban dan kantuk kami selama kurang lebih sembilan jam, memantapkan mata dan telinga menyimak kata demi kata yang sama sekali tidak kami mengerti. Lelah memang, namun ini hanya sebagian dari sekian banyak aktivitas yang menanti kami esok hari, apalagi pada hari-hari di penghujung sekolah ini rasanya seperti disuguhkan sebuah pokok masalah dalam menghadapi skripsi.
***
Ujian nasional sudah dapat dihitung jari, tanpa kalender aku tahu betapa dekatnya hari itu padaku. Begitu banyak hal yang seharusnya berada di luar ruang lingkup daya fikirku tapi entahlah setiap siswa dan siswi di sekolah manapun pasti dapat membayangkan betapa buruknya perpisahan, meskipun ia mendapat nilai tertinggi dalam ujian nasional sekalipun.
Hingga hari itupun tiba, hari dimana kita bukanlah kita pada saat biasanya, dimana senyum tak dapat serupa dengan senyuman yang semestinya, dan dimana kerjasama sudah tak lagi ditegakkan. Aku mengarahkan pandanganku kearah Rhaya yang sedang belajar bersama Tari, Dina, Zahla, dan Meida sementara Shelin sibuk dengan beragam tips untuk mencontek, dan Vina sibuk dengan timeline nya di twitter.Tiga tahun bukanlah waktu yang cukup lama untuk sebuah tawa, canda, tangis, dalam setiap asam manisnya hari-hari di sekolah tercinta, sekolah yang menghadiahkan kami dengan limaphan ilmu, limpahan cerita dan limpahan pengalaman yang tak akan dapat terlunasi dengan uang tunai seberapapun nilainya.
                                                ***
“Mbak, cepat sedikitlah dandannya, lihat ini udah jam berapa?, acaranya sebentar lagi mulai”. Teriak mama sembari memakai highills nya yang berwarna coklat terang, sedang aku masih duduk terdiam didepan cermin, berharap ada sebuah lubang waktu yang dapat mengantarkanku flash back beberapa waktu pada dua tahun yang lalu, tapi kini hanya ada aku dalam posisi yang berbeda dengan make-up cerah dan geraian rambut hitam panjang yang luruh menutupi sebagian pundak dan punggung dengan gemerlap bunga violet menata rapih setiap sisi di bagian atas rambut.
 “Tariiii”. Teriakku sembari melepaskan kedua tangan ini berusaha mendekap pundaknya dari arah depan, masih sangat kental dibenakku bagaimana aku menghabiskan satu tahun ini bersamanya dalam satu meja yang sama, bagaimana cara ia mengajarkanku untuk menjadi seorang yang cerdas, dan bagaimana kami menghabiskan waktu belajar kami dengan melihat desain gaun pernikahan. Sungguh aku rindu saat-saat itu. Sementara aku melepaskan pelukanku pada Tari, aku melihat Rhaya berlari kearahku “Shita, sebentar lagi kita pisah, huhu sedih juga ya”. Ucapnya sembari menepuk bahuku pelan, aku makin terisak. Rasanya ingin ku tuangkan segala tangis ini, namun simpul senyum dibibirku  menahan segala emosi ini, sampai pada akhirnya semua berkumpul.
Satu demi satu teman-temanku kupeluk erat, ku awali pelukanku kepada Rhaya, seorang yang cerdas yang dapat mempertahankan juara satunya dalam tiga tahun berturut-turut, teman yang selalu ada dalam setiap ceritaku, kemudian ku peluk Nissa, seorang gadis kecil manis yang begitu antusias dengan negeri gingseng, teman yang tidak pernah menyimpan dendam kepada siapapun, dan pelukan terakhirku jatuh pada Nurfah, teman sebangkuku saat kelas sepuluh, seorang teman manis yang memiliki suara emas. Semua membaur menjadi satu dalam sebuah alunan lagu westlife yang berjudul ‘season in the sun’ menambah pilu suasana perpisahan pada hari ini.
***
Seorang menepuk bahuku dari belakang membuat ku lekas terbangun dari lamunan panjang saat melihat sebuah album tebal berisikan lembaran kenangan di masa sekolah dulu. Ternyata ia suamiku Arkha, teman semasa SMA yang menikahi ku satu tahun silam, akupun tak pernah menduga seperti ini ceritanya, aku menikah dengan seorang yang sama sekali tak pernah aku bayangkan untuk menjadi miliknya, dulu kami hanya saling kenal, tanpa ada kedekatan apapun. Ia berdiri dihadapanku sembari menyodorkan secarik kertas berwarna biru langit yang bertuliskan ‘Reuni akbar SMA Cendikia’, lalu aku tersenyum dan membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Kertas itu mengantarkan ku pada sebuah gedung tua berwarna abu-abu yang terlihat begitu berbeda dengan kemeriahan yang amat memukau. Lekas kuarahkan pandanganku pada sebuah lorong kecil dimana terdapat wajah-wajah yang terlihat begitu familiar dibenakku, ku dekati mereka sembari mengingat-ingat nama yang sekiranya pernah ku kenal dulu.
“Nurfah”, sapaku dengan mata berbinar yang begitu bahagia setelah ia menyapa ku kembali “Shita, kamu apa kabar?”. Jawabnya dengan bahagia, “aku baik, kamu gimana sekarang?, sepertinya sudah jadi bintang besar ya?, aku mau dengar ceritamu”, tambahku dengan raut ingin tahu. “enggak kok aku masih ngelanjutin sekolah musikku di adelaide beberapa bulan lalu, kemarin baru aja buat album sama Vina, masih inget kan?, kasihan dia waktu itu aku ketemu dia lagi manggung di cafe, dia bilang setelah orang tuanya cerai dia gak bisa lanjutin kuliahnya, padahal dulu dia orang yang paling berada, karena itu aku ngajak dia join buat duet sama aku, sekarang aku jadi trio ditambah sama Tami, setelah lulus SMA kita jadi menyatu dan saling membantu”. Ceritanya dengan antusias, sebelum Shelin datang dan menyapa kami semua. “wah Shelin hebat ya bisa jadi bupati”. Sapa ku sembari tersenyum bangga. “iya, setelah lulus SMA saya baru sadar betapa pentingnya belajar, dari nilai-nilai buruk yang saya dapat itulah saya berusaha bangkit untuk jadi seperti saat ini, hasilnya alhamdulillah kan”. Jawabnya dengan lantang, Shelin memang salah satu yang tampak begitu berubah dari pribadinya semasa SMA yang amat menyukai modern dance, dengan kata-kata yang tidak tertata dan dengan nilai-nilai hasil menconteknya. Saat ini ia benar-benar menjadi sosok yang anggun, sopan dan terarah hidupnya.
Orang terakhir yang kutemui pada acara ini adalah Rhaya, aku menghampirinya ketika ia sedang meraih sebuah balon besar yang kemudian diberikannya pada seorang anak laki-laki disebelahnya, “Rhaya, apa kabar?, wah ini siapa?”, tanyaku sembari mencubit pipi mungil anak laki-laki itu. “ini anakku Rama, hasil pernikahanku dengan Akmal kamu masih ingat kan ketika aku mendapat tugas berdua dengannya dulu”, senyumnya kecil “aku bertemu Akmal ketika aku sedang membuka galleri baruku di Samarinda, ia sedang menjalankan proyek tata kotanya disana. Shita, ku dengar Dhaya meninggal ya karena kecanduan obat terlarang? Sungguh sempit sekali fikirannya, pergaulannya di SMA dulu membuat dirinya semakin rusak dan pada akhirnya ia meninggal karena sakaw”. Jelasnya “iya Rha, kasihan sekali dia, dan aku tak menyangka akhirnya kamu menjadi seniman, sementara dulu kamu sangat membenci seni”. Jawabku.
Setelah lama berbincang aku membuka ponsel ku dan mendapatkan 4 pemberitahuan dari YM, salah satunya dari Nissa yang mengabarkan dirinya tidak dapat hadir karena badai salju tengah melanda negeri tempat ia tinggal, yap cita-citanya tercapai untuk pergi ke negeri gingseng, dan kabarnya ia sudah menikah dengan kak Bass kakak kelas yang selalu ia nanti semasa SMA. Sementara tiga kabar lainnya datang dari Zahla, Tari, dan Meida yang sedang sibuk dengan proyek, study, dan beragam kegiatannya di tiga negara yang berbeda.
Tak lama Arkha datang merangkul pundakku dari arah belakang. “hidup itu adil ya, setiap orang yang berusaha pasti mendapat hasil yang sempurna”. “dan setiap kehidupan pasti memiliki banyak warna, ada satu saat dimana kita merasakan gelapnya hitam, ada waktunya pula untuk kita merasakan cerahnya hijau”. Tuturku. “kita belajar bagaimana mengenal arti ‘teman’, kita belajar bagaimana menghargai teman dan teman itulah yang akan menopang kita saat kita terjatuh nanti”. Tambah Arkha, Aku hanya tersenyum bahagia.
“Kita adalah kesatuan yang tak dapat terpisahkan oleh jarak, waktu dan usia. Kita adalah teman terbaik yang menjadi setoles warna bagi kehidupan, kita adalah cerita yang tak akan pernah berhenti dari waktu ke waktu, karena kita adalah satu dari beragam warna, seperti pelangi seusai hujan, dan itulah kita”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar