Ditempat ini aku duduk dan
menghabiskan sebagian kebahagiaanku bersama mereka, mereka yang tampak seperti
setoles permen aneka rasa dengan ciri khasnya masing-masing. Mereka yang duduk
sila dengan menggenggam erat buku fisika yang ditutup rapat lalu membuka suara
dengan topik berbeda.
“Kira-kira nanti kita jadi apa ya?”.
Tanya Meida yang seketika membuyarkan suasana. “Kalo gue ya maunya nanti kerja
dipertambangan, kan keren tuh atau kuliah ngambil jurusan teknik sipil”. Jawab
Dina dengan mata berbinar, “eh eh, tunggu deh. Kalo gue maunya kita tuh nanti
gak ngomongin ‘lu kerja dimana?’, tapi gue pengen kalo nanti kita nanya nya ‘lu
di negara mana’, kan keren tuh”. Usul Zahla dengan nada semangat, sementara
kami semua yang berada disana mengamini ucapannya dengan raut gembira. Seketika
Shelin datang dan berdiri dihadapan kami sembari melipat tangannya didada selaras
dengan sikapnya yang ‘no profile’ dan membuka suara “kalo gue yang penting
cepet lulus deh, bosen sekolah mulu. Remedial lah, laporan praktikum, persentasi,
heuh bisa mati gue”. Dengan lebih semarak kami membenarkan pernyataan Shelin
sembari menimpuknya dengan lipatan kertas kecil.
Lima waktu berlalu tanpa menyisihkan
sedikitpun ilmu, kami yang hendak belajar hanya terpukau dengan candaan konyol
yang setidaknya dapat merenggangkan lekuk otak kami yang hampir beku dengan
beribu istilah aneh ditambah dengan campuran rumus-rumus yang akan mengantarkan
kami pada kata “remedial”. Tak lama kemudian bel pun berdering mempersembahkan
lagu-lagu semangat yang menandakan telah berakhirnya beban dan kantuk kami
selama kurang lebih sembilan jam, memantapkan mata dan telinga menyimak kata
demi kata yang sama sekali tidak kami mengerti. Lelah memang, namun ini hanya
sebagian dari sekian banyak aktivitas yang menanti kami esok hari, apalagi pada
hari-hari di penghujung sekolah ini rasanya seperti disuguhkan sebuah pokok
masalah dalam menghadapi skripsi.
***
Ujian nasional sudah dapat dihitung
jari, tanpa kalender aku tahu betapa dekatnya hari itu padaku. Begitu banyak
hal yang seharusnya berada di luar ruang lingkup daya fikirku tapi entahlah
setiap siswa dan siswi di sekolah manapun pasti dapat membayangkan betapa
buruknya perpisahan, meskipun ia mendapat nilai tertinggi dalam ujian nasional
sekalipun.
Hingga hari itupun tiba, hari dimana
kita bukanlah kita pada saat biasanya, dimana senyum tak dapat serupa dengan
senyuman yang semestinya, dan dimana kerjasama sudah tak lagi ditegakkan. Aku
mengarahkan pandanganku kearah Rhaya yang sedang belajar bersama Tari, Dina,
Zahla, dan Meida sementara Shelin sibuk dengan beragam tips untuk mencontek,
dan Vina sibuk dengan timeline nya di twitter.Tiga tahun bukanlah waktu yang
cukup lama untuk sebuah tawa, canda, tangis, dalam setiap asam manisnya
hari-hari di sekolah tercinta, sekolah yang menghadiahkan kami dengan limaphan
ilmu, limpahan cerita dan limpahan pengalaman yang tak akan dapat terlunasi
dengan uang tunai seberapapun nilainya.
***
“Mbak, cepat sedikitlah dandannya,
lihat ini udah jam berapa?, acaranya sebentar lagi mulai”. Teriak mama sembari
memakai highills nya yang berwarna coklat terang, sedang aku masih duduk
terdiam didepan cermin, berharap ada sebuah lubang waktu yang dapat
mengantarkanku flash back beberapa waktu pada dua tahun yang lalu, tapi kini
hanya ada aku dalam posisi yang berbeda dengan make-up cerah dan geraian rambut
hitam panjang yang luruh menutupi sebagian pundak dan punggung dengan gemerlap
bunga violet menata rapih setiap sisi di bagian atas rambut.
“Tariiii”. Teriakku sembari melepaskan kedua
tangan ini berusaha mendekap pundaknya dari arah depan, masih sangat kental
dibenakku bagaimana aku menghabiskan satu tahun ini bersamanya dalam satu meja
yang sama, bagaimana cara ia mengajarkanku untuk menjadi seorang yang cerdas, dan
bagaimana kami menghabiskan waktu belajar kami dengan melihat desain gaun
pernikahan. Sungguh aku rindu saat-saat itu. Sementara aku melepaskan pelukanku
pada Tari, aku melihat Rhaya berlari kearahku “Shita, sebentar lagi kita pisah,
huhu sedih juga ya”. Ucapnya sembari menepuk bahuku pelan, aku makin terisak.
Rasanya ingin ku tuangkan segala tangis ini, namun simpul senyum dibibirku menahan segala emosi ini, sampai pada
akhirnya semua berkumpul.
Satu demi satu teman-temanku kupeluk
erat, ku awali pelukanku kepada Rhaya, seorang yang cerdas yang dapat
mempertahankan juara satunya dalam tiga tahun berturut-turut, teman yang selalu
ada dalam setiap ceritaku, kemudian ku peluk Nissa, seorang gadis kecil manis
yang begitu antusias dengan negeri gingseng, teman yang tidak pernah menyimpan
dendam kepada siapapun, dan pelukan terakhirku jatuh pada Nurfah, teman
sebangkuku saat kelas sepuluh, seorang teman manis yang memiliki suara emas.
Semua membaur menjadi satu dalam sebuah alunan lagu westlife yang berjudul
‘season in the sun’ menambah pilu suasana perpisahan pada hari ini.
***
Seorang menepuk bahuku dari belakang
membuat ku lekas terbangun dari lamunan panjang saat melihat sebuah album tebal
berisikan lembaran kenangan di masa sekolah dulu. Ternyata ia suamiku Arkha,
teman semasa SMA yang menikahi ku satu tahun silam, akupun tak pernah menduga
seperti ini ceritanya, aku menikah dengan seorang yang sama sekali tak pernah
aku bayangkan untuk menjadi miliknya, dulu kami hanya saling kenal, tanpa ada
kedekatan apapun. Ia berdiri dihadapanku sembari menyodorkan secarik kertas
berwarna biru langit yang bertuliskan ‘Reuni akbar SMA Cendikia’, lalu aku
tersenyum dan membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Kertas itu mengantarkan ku pada
sebuah gedung tua berwarna abu-abu yang terlihat begitu berbeda dengan
kemeriahan yang amat memukau. Lekas kuarahkan pandanganku pada sebuah lorong
kecil dimana terdapat wajah-wajah yang terlihat begitu familiar dibenakku, ku
dekati mereka sembari mengingat-ingat nama yang sekiranya pernah ku kenal dulu.
“Nurfah”, sapaku dengan mata
berbinar yang begitu bahagia setelah ia menyapa ku kembali “Shita, kamu apa
kabar?”. Jawabnya dengan bahagia, “aku baik, kamu gimana sekarang?, sepertinya
sudah jadi bintang besar ya?, aku mau dengar ceritamu”, tambahku dengan raut
ingin tahu. “enggak kok aku masih ngelanjutin sekolah musikku di adelaide
beberapa bulan lalu, kemarin baru aja buat album sama Vina, masih inget kan?,
kasihan dia waktu itu aku ketemu dia lagi manggung di cafe, dia bilang setelah
orang tuanya cerai dia gak bisa lanjutin kuliahnya, padahal dulu dia orang yang
paling berada, karena itu aku ngajak dia join buat duet sama aku, sekarang aku
jadi trio ditambah sama Tami, setelah lulus SMA kita jadi menyatu dan saling membantu”.
Ceritanya dengan antusias, sebelum Shelin datang dan menyapa kami semua. “wah
Shelin hebat ya bisa jadi bupati”. Sapa ku sembari tersenyum bangga. “iya,
setelah lulus SMA saya baru sadar betapa pentingnya belajar, dari nilai-nilai
buruk yang saya dapat itulah saya berusaha bangkit untuk jadi seperti saat ini,
hasilnya alhamdulillah kan”. Jawabnya dengan lantang, Shelin memang salah satu
yang tampak begitu berubah dari pribadinya semasa SMA yang amat menyukai modern
dance, dengan kata-kata yang tidak tertata dan dengan nilai-nilai hasil
menconteknya. Saat ini ia benar-benar menjadi sosok yang anggun, sopan dan
terarah hidupnya.
Orang terakhir yang kutemui pada
acara ini adalah Rhaya, aku menghampirinya ketika ia sedang meraih sebuah balon
besar yang kemudian diberikannya pada seorang anak laki-laki disebelahnya,
“Rhaya, apa kabar?, wah ini siapa?”, tanyaku sembari mencubit pipi mungil anak laki-laki
itu. “ini anakku Rama, hasil pernikahanku dengan Akmal kamu masih ingat kan
ketika aku mendapat tugas berdua dengannya dulu”, senyumnya kecil “aku bertemu
Akmal ketika aku sedang membuka galleri baruku di Samarinda, ia sedang
menjalankan proyek tata kotanya disana. Shita, ku dengar Dhaya meninggal ya
karena kecanduan obat terlarang? Sungguh sempit sekali fikirannya, pergaulannya
di SMA dulu membuat dirinya semakin rusak dan pada akhirnya ia meninggal karena
sakaw”. Jelasnya “iya Rha, kasihan sekali dia, dan aku tak menyangka akhirnya
kamu menjadi seniman, sementara dulu kamu sangat membenci seni”. Jawabku.
Setelah lama berbincang aku membuka
ponsel ku dan mendapatkan 4 pemberitahuan dari YM, salah satunya dari Nissa
yang mengabarkan dirinya tidak dapat hadir karena badai salju tengah melanda
negeri tempat ia tinggal, yap cita-citanya tercapai untuk pergi ke negeri gingseng,
dan kabarnya ia sudah menikah dengan kak Bass kakak kelas yang selalu ia nanti
semasa SMA. Sementara tiga kabar lainnya datang dari Zahla, Tari, dan Meida
yang sedang sibuk dengan proyek, study, dan beragam kegiatannya di tiga negara
yang berbeda.
Tak lama Arkha datang merangkul
pundakku dari arah belakang. “hidup itu adil ya, setiap orang yang berusaha
pasti mendapat hasil yang sempurna”. “dan setiap kehidupan pasti memiliki
banyak warna, ada satu saat dimana kita merasakan gelapnya hitam, ada waktunya
pula untuk kita merasakan cerahnya hijau”. Tuturku. “kita belajar bagaimana
mengenal arti ‘teman’, kita belajar bagaimana menghargai teman dan teman itulah
yang akan menopang kita saat kita terjatuh nanti”. Tambah Arkha, Aku hanya tersenyum
bahagia.
“Kita
adalah kesatuan yang tak dapat terpisahkan oleh jarak, waktu dan usia. Kita
adalah teman terbaik yang menjadi setoles warna bagi kehidupan, kita adalah
cerita yang tak akan pernah berhenti dari waktu ke waktu, karena kita adalah satu
dari beragam warna, seperti pelangi seusai hujan, dan itulah kita”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar