“Lia, kamu mau kemana??”. Kak Nirwan menghampiriku dengan
muka masam, sepertinya ia telah mencari ku sedari tadi. Aku yang sedang duduk
di teras mesjid hanya tersenyum kecil, kemudian ia singgahkan tubuhnya ke
lantai tepat di sampingku sembari menyandarkan punggungnya yang tampak begitu
lelah.
“maaf kak aku gak bisa hadir selama beberapa hari ini,
begitu banyak tugas yang harus aku selesaikan secepatnya”. Jawab ku santai.
“tapi kamu juga punya tanggung jawab untuk acara ini. Lia,
ada apa sama kamu?”. Kak Nirwan kembali melontarkan pertanyaannya. Aku tahu
semua gak akan usai kalau bukan aku yang menyudahinya, kak Nirwan seorang ketua
yang sangat bertanggung jawab, ia tak pernah lengah kapan dan mengapa anak
buahnya tidak hadir. Tapi aku, aku punya masalah yang sulit untuk di katakan,
dipikirkan, dan di pahami.
“kakak mau tahu?, kalau kakak sudah tahu semuanya kakak
gak bisa keluar begitu saja, kakak harus bantu aku, aku masih punya seribu
tugas untuk kakak, apa kakak mau hee?”. Tanya ku sambil meringis kecil, tapi
tetap mataku berkata ini serius.
“iya kalau kakak bisa pasti kakak bantu kok, kakak bisa
bantu kamu apa??”. Kak Nirwan menjawab dengan wajah penuh kesungguhan, aku jadi
terkejut dan bertanya apa benar kak Nirwan mampu menjalankan tugasnya?, tapi
aku terlanjur yakin padanya. Tugas pertama langsung ku berikan, yapp aku
memintanya untuk memperdalam ilmu agama ku, karena aku tahu kak Nirwan
merupakan seorang yang taat agama. Aku ingin menjadi seorang wanita yang
saleha, tapi selama ini aku selalu gagal untuk itu. Entah mengapa yang aku
fikirkan hanyalah mencari seorang yang dapat memberi dorongan lebih kepada ku,
dorongan rohani maupun jasmani.Kak Nirwan begitu telaten menjadi guru bagiku,
mulai dari mengajariku menghafal hadist, dan segala bentuk ajaran agar aku
menjadi wanita saleha, rasanya begitu menyenangkan.
Satu minggu usai untuk ku menguasai semua ajaran itu.
Hasilnya pun begitu memuaskan. Lihat saja aku mulai mengenakan jilbab tebal,
membaca al-quran setiap habis shalat, dan lebih dapat mengontrol emosiku, itu
berarti aku lulus ujian pertama. Tak sabar untuk ku memberi tugas kedua kepada
kak Nirwan, usai pulang sekolah aku pun menghampirinya dan menawarkannya tugas
kedua. Aku mengajaknya berbicara di pendopo sekolah, suasananya sangat
mendukung untuk berbicara. “kak, tugas keduanya itu aku mau nilai ulangan ku
bagus, gimana?? Siap gak?”. Tanya ku dengan wajah penuh harapan, apa kak Nirwan
mau menerima tugas kedua dari ku ini atau??? Entah lah dia kan belum
menjawabnya, bagaimana aku bisa tahu?.
“itu sih gampang, butuh berapa hari untuk kamu bisa
semuanya?”. Ternyata kak Nirwan begitu antusias menerima tugas kedua dari ku,
aku jadi tak sabar.
“hhmmm, secepatnya ya kak jangan sampai lebih dari dua
minggu, takutnya aku gabisa ke....”. segera aku mendekap mulutku kencang,
sungguh bibir ku begitu lancang. Ini belum waktunya, kak Nirwan gak boleh tahu
ini duluan, ini kejutan.
“takutnya aku gabisa ke?? Kemana???”. Huuuh untung saja
fikirannya meleset jauh dari apa yang hendak aku katakan.
“ehhh, ke tempat les, he’eh minggu depan aku mau les
kak”. Maaf kak aku bohong, mungkin ini baru awal, nanti pasti akan ada
kebohongan yang selanjutnya sampai waktunya benar-benar tepat untuk kakak tahu.
Aku pun belajar dengan sangat giat, setiap jam istirahat
kak Nirwan menyempatkan diri datang ke kelasku, setiap pulang sekolah pun dia
menyempatkan diri untuk membimbingku, mungkin saja kak Nirwan penasaran dengan
akhir dari permainanku ini.
Pagi itu adalah pagi ke lima setelah aku memberikan dua
tugas untuk kak Nirwan, senang sekali rasanya, seperti ada malaikat yang terus
mengikuti langkah ku kemanapun aku pergi.
Hari ini memang menjadi hari penuh kejutan, dalam 2 mata
pelajaran ipa dan 2 mata pelajaran ips aku mendapatkan hasil yang memuaskan
dengan perolehan nilai biologi 95, fisika 87, Ekonomi 85, dan Geografi 90,
amazing bukan?. Segera mungkin aku umumkan rekor ini kepada kak Nirwan.
“kak lihat deh kertas ulangan aku ini”, aku menyodorkan
empat kertas hasil ujian ku kemarin.
“wah hebat banget ya Lia, padahal kakak kan baru ngajarin
kamu satu minggu tapi hasilnya udah sebagus ini”. Kak Nirwan tersenyum senang
sembari menggenggam hasil ujianku itu.
“ini semua berkat kakak, makasih ya kak buat semua
perubahan ini, kakak sebagai motivator terbesar ku”. Aku membalas senyumannya yang
apik itu lalu ku lanjutkan pada topik selanjutnya, yaaa aku hampir saja lupa,
aku hampir saja membuat kak Nirwan kecewa akan amanah yang kak Nirwan berikan
kepada ku. Kak Nirwan menunjuk ku sebagai seksie acara pada acara APSIS ke 43,
acara apresiasi seni sastra sekolah itu sangat dan begitu penting untuk kami,
juga seluruh siswa sekolah. Maklum lah karena pada acara tersebut di rencanakan
untuk menghadirkan bintang tamu ternama, apalagi bintang tamu ini merupakan
musisi favoritku.
“kak, aku hampir aja lupa nyerahin ini ke kakak, nih kak
udah selesai tugasnya”. Aku menyerahkan sebuah kertas berisi daftar acara
kepada kak Nirwan.
“makasih ya Lia, kamu gak lupa sama tugas kamu, kalau
begini sih kakak akan lebih siap lagi melaksanakan tugas kakak”. Lagi lagi kak
Nirwan tersenyum, aku hanya mengangguk dan mengisyaratkan bahwa tidak ada tugas
lagi untuk hari ini dan besok, dengan suksesnya
acara besok, itupun cukup untuk ku.
Keesokan harinya...
Acara APSIS pun di mulai dengan sangat meriah, ada
musikalisasi puisi yang di iringi oleh tim teater 01, pengumuman pemenang lomba
cerbung, dan jenis jenis penampilan lainnya.
Pada penghujung acara kejutan pun di mulai, Ebiet G Ade
membawakan lima lagu favoritku yaitu nyanyian rindu, camelia 1, 2,3, dan 4.
Namun sebelum lagu-lagu merdu itu terdengar seluruhnya kepala ku mulai terasa
sakit, begitu sakit hingga tak dapat aku melihat sekitar, akomodasi mata ku pun
mulai terasa semakin abstrak, besar, kecil, dan hilang. Tepat di saat Ebiet G
Ade hendak membawakan lagu camelia 3, aku mulai tak sadarkan diri bahkan ketika
menyebutkan hasil request lagu dariku. Aku tak bisa melihat apa-apa, yang ada
saat ini hanya diriku dengan jalan yang sangat panjang, dan... siapa orang
itu?,sosok dengan tubuh tinggi, lebih tinggi dari ukuran manusia biasanya, ia
mengenakan jubah hitam tapi,, mengapa orang itu menghampiriku sembari
tersenyum, ada apa??. Ia terus berusaha meyakinkan ku untuk mengikuti jalannya,
tapi mengapa ia menyuruhku berhenti, dan seketika itu pula ia berkata “silahkan
kamu urus segala keperluanmu hari ini dan aku beri sedikit waktu untuk esok,
anggap saja ini sebagai imbalan atas perbuatan mu”. Sekali lagi ia tersenyum
dan akhirnya menghilang, entah dari arah mana ia datang dan entah dari mana ia
pergi, aku sedikit takut tapi sungguh aku merasa takut sebelum kak Nirwan
datang bersama kedua orang tua ku untuk mengajak ku pulang kerumah.
Sedikit demi sedikit mataku terbuka, di depan ku hanya
ada seorang dokter jaga dari poli klinik sekolah sebelum kak Nirwan datang
menemaniku.
“Lia, kamu kenapa?, sejak kapan kamu disini?, maaf kakak
baru tahu ini dari teman kakak tadi, katanya kamu pingsan ya?, kenapa?, terus
kamu gak pa...”. telunjuk ku menghentikan kata-kata yang hendak di lontarkan
oleh kak Nirwan.
“aku gapapa, Cuma pusing sedikit kok kak”. Aku tersenyum
berusaha meyakinkan kak Nirwan. Tanpa menjawab apapun kak Nirwan bergegas
mengantar ku pulang ke rumah, mungkin kak Nirwan baru sadar bahwa
pertanyaan-pertanyaan konyolnya itu hanya membuat kepala ku semakin pusing, ia
tidak ingin dan tidak berniat membuat ku sakit seperti ini apalagi untuk
membuat penyakit ini lebih dari parah, aku tahu itu.
“udah sampe nih”. Kak Nirwan melepaskan helmnya
“hmm, sampe ya kak??, makasih ya kak”. Aku membuka
mataku, terkejut dengan nyawa yang sebagian masih pulas dalam tidurnya, aku
menjawab spontan. Kemudian berjalan ke dalam rumah dan ‘dug’, “aw...huuuhhhh”,
keluh ku saat menyaksikan pipiku yang menempel pada tiang pagar.
“eeeh, hati-hati Lia, apa perlu kakak anter sampe dalem
rumah?” kak Nirwan spontan turun dari motor.
“enggg, enggak perlu kak. Daah kakak”. Tanpa salam
penutup atau sekedar ucapan terimakasih aku pun segera masuk dan berlalu.
Sebelum kak Nirwan menyalakan mesin motornya dan melesat pergi.
Malam itu pula satu jam setelah kak Nirwan mengantar ku
pulang, aku mengirimkannya pesan. “kak, maaf ya tadi aku langsung ke dalem,
tapi makasih banyak loh kak udah nganterin aku sampe rumah, kakak gak marah
kan?”, tak membutuhkan waktu lama untuk aku menerima balasan darinya “iya gak
masalah kok Lia, sama-sama J”.
“kak, besok anterin aku yuk ke tempat bawah jembatan
layang?”.
“loh?, mau ngapain?, emang kamu udah sehat apa?”.
“aku akan segera sehat setelah kakak anter aku besok”.
“ya”. Balasan terakhir yang begitu singkat, entah karena
kak Nirwan marah karena aku terlalu memkasakan, atau khawatir atas keadaanku
saat ini, atau juga karena ia sedang sibuk?, entah mungkin karena alasan yang
terakhir.
Pagi hari setelah perjanjian itu aku dan kak Nirwan
berangkat ke bawah jembatan layang, tempat yang menurutku indah dan nyaman
karena letaknya yang sangat strategis dan menarik. Perpaduan antara padang
rumput, sungai kecil dan lintasan kereta tersusun dengan rapih serta apik, sehingga
burung-burung pun terkesima melihatnya. Aku bersama kak Nirwan duduk di tengah
padang rumput sembari berbincang berdua.
“kak, aku boleh minta sesuatu gak?, aku janji deh ini
tugas yang terakhir untuk kakak, yahhh???”, aku memohon pada kak Nirwan.
“apa?”, singkat jawaban kak nirwan membuat ku semakin ragu, apa dia tidak keberatan
atas ini, atau selama ini tugas yang aku beri hanya membebaninya?, aku hanya
melanjutkan harapanku yang terlanjur di ucapkan ini, “hmm, aku titip ini ya
kak”, aku memberikan empat bungkus surat yang di letakkan dalam kantong kertas
kecil pada kak Nirwan “jangan dibaca, jangan di buka, jangan dilihat, besok
kakak kirim surat-surat ini kepada alamat yang tertera di bungkus suratnya kak,
mau? harus!, aku gak butuh jawaban mau atau tidak, yang aku mau hanya amanah
ini sampai, aku pilih kakak karena aku percaya kakak bisa”. Kak Nirwan hanya
diam, menampakan raut yang dapat di lukiskan betapa tidak mengertinya ia, diam
bukan berarti menyerah, dalam hati dan fikirannya pun bekerja keras untuk
memahami maksut di balik apa yang aku sampaikan, sampai dengan menit ke dua
belas sebelum akhirnya ia membuka suara. “kamu suka lagunya Ebiet kan?”, akupun
mengangguk sembari tersenyum lebar “mau kakak nyanyiin gak?, kamu mau request
lagu yang mana?”, aku tersenyum lagi dan menjawab dengan sedikit tawa “hmmm,
aku setel lagunya di mp3 aja ah, gimana kalo kakak bacain aku puisi?, ya.....anything
oke”. Tak lama kak Nirwan mulai membacakan puisi buatannya, aku lekas
membaringkan tubuhku dan membiarkannya terbaring dan tenggelam di antara
tumbuhan hijau tersebut.
suatu saat nanti tatkala aku terlelap dalam hembus
angin malam...
dan ketika kelopak mata membuka lipatannya, akan ku
lihat dia menari indah...
bersemi di antara padunya hijau rumput dan birunya
langit...
kini harapan menjadi sempurna apabila nanti engkau
yang menyertaiku pergi...
Aku mulai merasa sakit kepala yang sangat, sangat, dan
sangat. Tak lama mata ku terkatup rapat, tidak hanya itu, akupun merasakan hal
yang begitu berbeda pada pernafasan ku, nafas yang tidak pernah aku rasakan
sebelumnya. Ini begitu sesak, lubang dan saluran nafasku rusak, mereka saling
menyempit aku tak dapat merasakannya lagi, sulit untuk menarik udara bebas. Dan
ada apa dengan jantungku? Mengapa ia semakin lemah, lemah melebihi segala
kegagalan yang pernah aku rasakan, aku mulai merasakan hal yang lebih tidak
wajar, kali ini mengenai aku, mengapa ruh dan jasad ku berpisah?, mengapa aku
berada di luar jasad ku?, apa aku telah??????????.
Kak nirwan memalingkan wajahnya pada ku, ia menyaksikan
keadaan ku yang lemah, tergulai di atas hamparan rumput dan memejamkan mata, ia
menepuk pelan pipiku, tapi tak berhasil, seluruh tubuhku telah menjadi layaknya
es yang dingin.
atau menunggu ku untuk menjadi bidadari abadi....
karena yang sejati itu tidak hanya sampai pada ujung
usia....
sejati itu menyertai hingga bertemu pada satu nirwana
bahagia....
”Lia?, kamu pasti kelelahan, gak ada gunanya kan kalo
ngeyel. Huft”
Kak Nirwan membopongku ke arah motor, membiarkan aku
dalam keadaan duduk dengan kedua tanganku melingkar di perutnya kemudian
dibawanya aku kerumah.
“tante, Lia pingsan lagi”.
“hah? Pingsan?, tunggu sebentar ya Nirwan, tante panggil
dokter klinik dulu.”
Tiga menit setelah dokter memeriksa keadaanku dan
memastikan bahwa aku sudah tidak ada lagi. Satu persatu air mata jatuh
mengerumuni jasadku dan aku hanya dapat menyeksikan semua dari kejauhan. Aku
dapat melihat semua dengan begitu jelas, tapi aku tidak dapat menyentuh mereka,
tangisanku tiada artinya, untuk melihatku saja mereka tidak mampu.
Kak Nirwan hanya diam meratapi apa yang ada di depannya,
seorang perempuan mungil tak berdaya membaringkan tubuhnya yang beku dan
memutih, rautnya sangat nyata melukiskan begitu banyak penyesalan atas beberapa
saat yang lalu.
Dua hari ini aku masih dapat menyaksikan seluruh sanak
saudaraku, teman-teman ku, dan terutama kak Nirwan. Aku tak akan membiarkan
waktu ku lengah satu detikpun untuk melihatnya, apakah seluruh surat yang aku
berikan telah ia kirim?, yang jelas aku telah melihat ia mengirimkan
surat-surat itu melalui kantor pos.
Aku mengirimkan empat surat untuk kedua orang tuaku,
Alfa,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar